Ada kesamaan legenda dan mitos yang bisa menjadi benang merah untuk menghubungkan beragam etnis di negeri ini.
Masyarakat Sunda mengenal mitos kesiangan pada diri Sangkuriang yang
kesiangan saat membuat perahu atas permintaan Dayang Sumbi yang akan
disunting menjadi istri. Gara-gara melewati batas waktu yang
ditetapkan, perahu pun ditendang lalu terbalik dan berubah wujud
menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sementara masyarakat Jawa meyakini mitos kesiangan Bandung Bondowoso
yang mengutuk Ratu Boko menjadi arca Roro Jonggrang untuk melengkapi
pendirian Candi Prambanan.
Syahdan, Ratu Boko mensyaratkan Bandung Bondowoso membangun seribu
candi untuk bisa menikahinya. Karena kesiangan—ditandai ayam jantan
berkokok—dan pembangunan candi belum selesai, sang ratu dikutuk menjadi
arca Roro Jonggrang untuk melengkapi kekurangan sebuah candi yang belum
selesai dibangun. Mitos kesiangan itu ternyata juga dikenal masyarakat
Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam legenda Jong Dobo. Jong,
jung, atau jukung (bahasa Jawa), menurut etnolog sekaligus paderi
Theodore Verhoeven, SVD (1982: 74) yang banyak menelusuri situs-situs
purbakala di Flores, merupakan jenis perahu yang sanggup mengangkut
barang hingga 500 ton lebih. Awalnya, berkembang di Semenanjung
Indochina dan daratan China Selatan pada 300-500 SM yang dikenal
sebagai era kebudayaan Dongson.
Dengan kata lain, jong dan beragam legenda yang mengiringinya bisa
jadi merupakan pengaruh kebudayaan Dongson yang menyebar di beberapa
wilayah di Nusantara ini. Tak terkecuali di bukit Dobo yang masuk
wilayah Desa Ian Tena, Kecamatan Kewapante, yang berjarak sekitar 15
kilometer dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Nama Dobo ini juga
digunakan di salah satu tempat di Papua.
Jong Dobo sendiri memiliki ukuran panjang 55 sentimeter, tinggi 28
sentimeter, dan lebar bagian dalam 10 sentimeter. Di bagian depan
terdapat lonceng untuk memberi aba-aba pada pendayung, sedang di
buritan terdapat patung ayam jago yang berfungsi sebagai penunjuk waktu.
Di sisi jong terdapat 12 pendayung, 6 di sisi kanan dan 6 di kiri
serta di dalamya terdapat empat sosok penari perempuan. Sayang, tiang
layar jong ini sudah patah dan tidak ditemukan patahannya. Secara
keseluruhan jong terlihat utuh. Jong ini berada di hutan Tuan Pireng,
yang maknanya hutan sakti berupa hutan lindung yang digagas Pemerintah
Hindia Belanda sejak tahun 1932.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar