Jumat, 27 Januari 2012

Ada kesamaan legenda dan mitos yang bisa menjadi benang merah untuk menghubungkan beragam etnis di negeri ini.
Masyarakat Sunda mengenal mitos kesiangan pada diri Sangkuriang yang kesiangan saat membuat perahu atas permintaan Dayang Sumbi yang akan disunting menjadi istri. Gara-gara melewati batas waktu yang ditetapkan, perahu pun ditendang lalu terbalik dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sementara masyarakat Jawa meyakini mitos kesiangan Bandung Bondowoso yang mengutuk Ratu Boko menjadi arca Roro Jonggrang untuk melengkapi pendirian Candi Prambanan.
Syahdan, Ratu Boko mensyaratkan Bandung Bondowoso membangun seribu candi untuk bisa menikahinya. Karena kesiangan—ditandai ayam jantan berkokok—dan pembangunan candi belum selesai, sang ratu dikutuk menjadi arca Roro Jonggrang untuk melengkapi kekurangan sebuah candi yang belum selesai dibangun. Mitos kesiangan itu ternyata juga dikenal masyarakat Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam legenda Jong Dobo. Jong, jung, atau jukung (bahasa Jawa), menurut etnolog sekaligus paderi Theodore Verhoeven, SVD (1982: 74) yang banyak menelusuri situs-situs purbakala di Flores, merupakan jenis perahu yang sanggup mengangkut barang hingga 500 ton lebih. Awalnya, berkembang di Semenanjung Indochina dan daratan China Selatan pada 300-500 SM yang dikenal sebagai era kebudayaan Dongson.
Dengan kata lain, jong dan beragam legenda yang mengiringinya bisa jadi merupakan pengaruh kebudayaan Dongson yang menyebar di beberapa wilayah di Nusantara ini. Tak terkecuali di bukit Dobo yang masuk wilayah Desa Ian Tena, Kecamatan Kewapante, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Nama Dobo ini juga digunakan di salah satu tempat di Papua.
Jong Dobo sendiri memiliki ukuran panjang 55 sentimeter, tinggi 28 sentimeter, dan lebar bagian dalam 10 sentimeter. Di bagian depan terdapat lonceng untuk memberi aba-aba pada pendayung, sedang di buritan terdapat patung ayam jago yang berfungsi sebagai penunjuk waktu.
Di sisi jong terdapat 12 pendayung, 6 di sisi kanan dan 6 di kiri serta di dalamya terdapat empat sosok penari perempuan. Sayang, tiang layar jong ini sudah patah dan tidak ditemukan patahannya. Secara keseluruhan jong terlihat utuh. Jong ini berada di hutan Tuan Pireng, yang maknanya hutan sakti berupa hutan lindung yang digagas Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1932.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar